Minggu, 21 Februari 2016

Masjid Jami Banjarmasin. "Bermula dari Langgar yang Longsor"



Salah satu cara untuk dapat mengenal sejarah adalah dengan melihat bangunan tua yang tertinggal di sebuah kota. Banjarmasin sebagai kota tua memiliki banyak bagunan tua, di antaranya adalah tempat ibadah.

Selain mayoritas masyarakatnya beragama Islam, Kalimantan Selatan dikenal memiliki tempat ibadah bersejarah dan artistik. Satu di antaranya adalah Masjid Jami Banjarmasin. Bangunan masjid itu memperlihatkan betapa tingginya seni dan budaya masyarakat Banjar.

Masjid Jami Banjarmasin yang juga dikenal sebagai Masjid Jami' Sungai Jingah, terletak di  Kelurahan Antasan Kecil Timur, Kecamatan Banjarmasin Utara. Masjid itu adalah masjid tua dan bersejarah di Kalimantan Selatan khususnya Banjarmasin. Arsitektur bangunan masjid merupakan perpaduan adat Banjar dan kolonial (indish), yang dibuat dengan bahan dasar kayu besi (ulin) dan beratap sirap.

Dibangun pada Ahad (Minggu) 16 Djulhijah 1352 Hijriyah, atau sekitar 1934. Masjid itu dibangun untuk menggantikan bangunan masjid sebelumnya yang terkena longsor. Lokasi awal pembangunan masjid ialah di tepi Sungai Martapura, tepatnya di Jalan Panglima Batur. Sekarang bagunan masjid lama tersebut menjadi langgar (mushola), dengan nama Langgar Sinar Masjid. Bangunan masjid lama tersebut dibangun pada Sabtu 17 Syawal 1195 Hijriyah atau sekitar 1777 Masehi, jelas KH Husein Naparin, ketua umum pengurus Masjid Jami Banjarmasin.

Gotong Royong

Masjid Jami Banjarmasin dibangun dari keringat dan urunan duit rakyat Banjar yang bermukim di kawasan Sungai Martapura, Sungai Jingah dan Sungai Pangeran, puluhan tahun silam. Masyarakat Banjar mengalami kesulitan dalam beribadah, karena masjid sebelumnya terkena longsor. Pangeran Tamjidillah meminta agar masyarakat bersama-sama bergotong royong untuk membangun masjid, cerita KH Husein Naparin.

Warga Banjar pun merapatkan barisan membangun Masjid Jami di tanah seluas dua hektare itu. Tua muda, laki-laki dan perempuan bahu-membahu mewujudkan pembangunan masjid tersebut. Mereka berbagi tugas. Ada yang mengangkut pasir, kayu, juga bahan-bahan lainnya. Ada yang menyumbang hasil pertanian, uang, emas, tenaga. Gotong royong sangat diutamakan pada saat pembangunan masjid itu. Pemerintah Belanda menawarkan diri untuk memberikan bantuan dalam pembangunan masjid, namun ditolak oleh masyarakat.

Presiden Kagum

Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang berkunjung pada 2008 pun kagum melihat arsitektur masjid yang telah berusia 78 tahun itu. Bangunannya yang terbuat dari kayu membuat jamaahnya merasa adem. Setiap orang berada di dalam  dan beribadah di masjid itu, dapat dipastikan tak ingin beranjak. 35 pintu yang mengelilingi bangunan masjid selain tiga pintu utama, membuat sirkulasi udara terjaga dengan baik. Lantai marmer dan minimnya kaca seperti yang ada di masjid modern, menolak efek panas di siang hari.

Ciri khas Banjar pada ornamen masjid masih dipertahankan hingga kini. Misalnya, atap masjid bertingkat tiga yang melambangkan Islam, Iman dan Ihsan. Ada juga 17 tiang ulin sebagai tiang penyangga yang melambangkan 17 rakaat salat dalam sehari-semalam.

Dari 17 tiang ada satu sokoguru utama dari kayu ulin atau kayu besi yang tingginya mencapai 35 meter tanpa sambungan, menancap dari lantai dasar hingga pucuk kubah. Ciri khas menonjol antar sambungan balok menggunakan pasak kayu, bukan paku besi.

Dulu, di masjid itu ada tangga berputar. Zaman dahulu, tangga itu dipakai muazin untuk mengumandangkan azan, karena tak ada penegeras suara dan listrik. Tangga itu berputar ke sekeliling bangunan masjid, agar masyarakat mendengar suara azan. Sekarang tangga itu tidak ada lagi. Penyebabnya, selain memakan tempat juga sudah ada listrik dan menara, tutur KH Husein Naparin .

Pada masa pembangunannya, sebuah prasasti dari bahan kuningan dengan tulisan huruf tulisan Arab yang dirajah dan menggunakan teknik pahat berupa titik-titik. Kini prasasti berisi riwayat dan tahun pembanguan masjid diletakkan di sisi mimbar. Meskipun telah direnovasi beberapa kali, tetapi tidak mengubah bentuk dasar dan arsitektur asli. Itu sebabnya, nilai historis Masjid Jami Banjarmasin tetap terjaga


Pusat pendidikan.

Selain sebagai tempat ibadah, masjid tersebut juga menjadi pusat pendidikan. Sejak kepengurusan dibentuk pertama kali, masjid itu diniatkan sebagai pusat pendidikan. Baik pendidikan nonformal melalui pengajian yang digelar di masjid, maupun pendidikan formal melalui TK Islam Bhakti dan STAI Albanjari yang berada di sekitar masjid. Lembaga pendidikan itu telah mewisuda 2.300 siswanya, sejak didirikan pada 3 Agustus 1989.

Pada Ramadan tahun ini selain menjadi tempat beritikaf, takjil berupa bubur ayam, sari kambing dan kurma menjadi menu utama di Masjid Jami Banjarmasin tersebut. Anda terpanggil? Datanglah.