Senin, 03 Agustus 2015

Kuliner Banjar




Kapan terkhirkali kita memasak? Berawal dari eksperimendi dapur, dengan bahan yang ada di sekitar, nenek moyang kita meracik dengan alakadarnya, sehingga jadilah masakan. Seringkali, meski tidak selalu, yang dijadikan sebagai penanda atau penciri untuk menunjuk kekhasan alias keunikan suatu daerah atau tempat tertentu adalah makanan alias kuliner daerah tersebut. Misalnya Jogya dentik dengan Gudeg, Betawi, Madura dan Banjarmasin dengan Sotonya, Bandung dengan Peyem-nya.
Hal lain yang juga menarik adalah keragaman dan kekhasan makanan atau kuliner setiap etnis atau masyarakat di Nusantara. Hak tersebut erat kaitannya dengan lingkungan alam dan kondisi sosial masyarakatnya. Sebut saja sebagai contohnya unsur-unsur atau bahan-bahan yang menjadi makanan alias kuliner suatu masyarakat atau etnis-etnis tertentu di Nusantara terkait erat dengan khasanah kekayaan alam dan kondisi lingkungan yang membentuk budaya masyarakatnya. Contohnya, masyarakat di Kalimantan Selatan(kalsel) cukup akrab dengan kuliner yang berbahan dasar santan serta gula terutama untuk panganan (Kue). Ada adigium yang menyatakan bahwa orang Banjar rentan terkena penyakit diabetes, karena makananya yang sangat manis dan bersantan, meskipun hal itu belum disa dibuktikan secara ilmiah.
Membicarakan kuliner Banjar, bukan sesuatu yang mudah, apalagi keragaman kuliner banjar, sebagian juga di dapati dalam kuliner suku laiannya, seperti lamang atau lemang, kelelopon, ataupun lainnya. Hal ini menandakan bahwa pluraisme juga bekembang dalam hal kuliner dan karena itu ujar Iqba, label “kuliner asli” harusnya diganti menjadi “kuliner khas”.
Perkembangan zaman yang begitu cepat dengan kapital yang besar dan serba instan pada akhirnya membuat kita berjarak pada cita rasa dan sejarah kuliner yang kita miliki.Yang hilang di tempat kita bukan hanya tanah, tetapi juga tradisi serta kekayaan kulinernya. Dan ini memang problem yang sangat kompleks. Apakah generasi kita sekarang mengenal wadai 41 macam, dan kenapa harus 41 macam, apa filosofinya.
Kuliner bukan perkara bagaima ia cara memasaknya, tapi juga makna dari masakan itu sendiri, ada makna khuus yang di sematkan dalam kuliner itu. Bahkan beberapa tempat dan mugkin juga di kalimantan selatan ada kuliner yang dibuat berdasarkan hari atau ritul acara tertentu. Pertanyaanya sekarang adalah? Kapan terakhir kali kita memasak? Karena dengan memasak warisan resep kuliner yang kita punya akan terus bertahan.
 

*Resume Diksusi KulinerBanjar oleh Forum Komunikasi Pemuda Lintas Iman Kalsel (15/03/14)