Selain mayoritas masyarakatnya beragama Islam, Kalimantan Selatan dikenal
memiliki tempat ibadah bersejarah dan artistik. Satu
di antaranya
adalah Masjid Jami Banjarmasin. Bangunan masjid itu memperlihatkan betapa tingginya seni dan budaya masyarakat
Banjar.
Masjid Jami Banjarmasin yang juga dikenal sebagai Masjid
Jami' Sungai Jingah, terletak
di Kelurahan Antasan Kecil Timur, Kecamatan Banjarmasin Utara. Masjid itu adalah masjid tua dan
bersejarah di Kalimantan Selatan
khususnya Banjarmasin. Arsitektur bangunan masjid merupakan
perpaduan adat Banjar
dan kolonial (indish), yang dibuat dengan
bahan dasar kayu besi (ulin) dan beratap sirap.
Dibangun pada Ahad
(Minggu) 16 Djulhijah 1352
Hijriyah, atau sekitar 1934. Masjid itu dibangun untuk
menggantikan bangunan masjid
sebelumnya yang terkena longsor. Lokasi awal pembangunan masjid ialah di tepi
Sungai Martapura,
tepatnya di Jalan
Panglima Batur. Sekarang bagunan
masjid lama tersebut
menjadi langgar (mushola), dengan nama Langgar Sinar Masjid. Bangunan masjid lama tersebut dibangun pada Sabtu 17 Syawal 1195
Hijriyah atau sekitar 1777 Masehi,
jelas KH Husein Naparin, ketua
umum pengurus Masjid
Jami Banjarmasin.
Gotong Royong
Masjid Jami Banjarmasin dibangun
dari keringat dan urunan duit rakyat Banjar yang bermukim di kawasan Sungai
Martapura, Sungai Jingah dan Sungai Pangeran, puluhan tahun silam. Masyarakat Banjar mengalami kesulitan dalam beribadah, karena masjid sebelumnya terkena longsor. Pangeran Tamjidillah meminta agar
masyarakat bersama-sama bergotong royong untuk membangun masjid, cerita KH Husein Naparin.
Warga Banjar pun merapatkan barisan membangun Masjid Jami di tanah seluas
dua hektare itu. Tua muda, laki-laki dan perempuan
bahu-membahu mewujudkan pembangunan
masjid tersebut. Mereka berbagi tugas. Ada yang
mengangkut pasir, kayu, juga bahan-bahan lainnya. Ada yang menyumbang hasil
pertanian, uang, emas, tenaga. Gotong royong sangat diutamakan pada saat pembangunan masjid itu. Pemerintah Belanda menawarkan diri untuk memberikan bantuan dalam
pembangunan masjid, namun ditolak oleh masyarakat.
Presiden Kagum
Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono yang berkunjung pada 2008 pun
kagum melihat arsitektur masjid yang
telah berusia 78 tahun itu.
Bangunannya yang terbuat dari kayu membuat jamaahnya merasa adem. Setiap orang berada di dalam dan
beribadah di masjid itu, dapat
dipastikan tak ingin beranjak. 35 pintu yang mengelilingi
bangunan masjid selain tiga pintu utama, membuat sirkulasi udara terjaga dengan baik. Lantai marmer dan minimnya kaca seperti yang ada di
masjid modern, menolak efek panas di siang hari.
Ciri khas Banjar pada ornamen masjid masih dipertahankan hingga kini. Misalnya, atap masjid bertingkat tiga yang melambangkan Islam, Iman dan Ihsan. Ada juga
17 tiang ulin sebagai tiang penyangga yang melambangkan 17 rakaat salat dalam sehari-semalam.
Dari 17 tiang ada satu sokoguru utama dari kayu ulin atau kayu besi yang
tingginya mencapai 35 meter tanpa sambungan, menancap dari lantai dasar hingga pucuk kubah. Ciri khas menonjol antar sambungan balok menggunakan pasak kayu, bukan paku
besi.
Dulu, di masjid itu ada tangga berputar. Zaman dahulu,
tangga itu dipakai muazin untuk mengumandangkan azan, karena tak ada penegeras suara
dan listrik. Tangga itu berputar ke sekeliling
bangunan masjid, agar masyarakat mendengar
suara azan. Sekarang tangga itu tidak ada lagi.
Penyebabnya, selain memakan tempat juga sudah ada listrik dan
menara, tutur KH Husein Naparin .
Pada masa pembangunannya, sebuah prasasti dari bahan
kuningan dengan tulisan huruf tulisan Arab yang dirajah dan menggunakan
teknik pahat berupa titik-titik. Kini prasasti berisi riwayat dan tahun
pembanguan masjid diletakkan di sisi mimbar. Meskipun telah direnovasi beberapa
kali, tetapi tidak mengubah bentuk dasar dan arsitektur asli. Itu sebabnya, nilai historis Masjid Jami Banjarmasin tetap terjaga
Pusat pendidikan.
Selain sebagai tempat ibadah, masjid tersebut juga menjadi pusat pendidikan. Sejak kepengurusan
dibentuk pertama kali, masjid itu diniatkan sebagai pusat pendidikan. Baik pendidikan
nonformal melalui pengajian yang digelar
di masjid, maupun pendidikan formal melalui TK Islam Bhakti dan STAI Albanjari yang
berada di sekitar masjid. Lembaga pendidikan itu telah
mewisuda 2.300 siswanya, sejak
didirikan pada 3 Agustus 1989.