Senin, 28 April 2014

Kain Sasirangan "Pamintan Putri Junjung Buih"

Siapa pun yang pernah berkunjung ke Indonesia, pasti akan sepakat bahwa khazanah budaya Indonesia  begitu beragam. Dari kuliner hingga warisan budaya dan seni serta tradisi, tetap terjaga turun temurun. Satu  di antaranya adalah kain tradisional.

Di Pulau Jawa, orang mengenal batik. Di Sumatera ada songket sebagai kain tradisional. Di Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan ada kain sasirangan.

Sasirangan adalah kain khas adat suku Banjar. Awalnya, kain sasirangan dipercaya dan digunakan untuk kesembuhan bagi orang yang tertimpa suatu penyakit (pamintaan/pamintan). Kain tersebut, dipakai saat upacara adat suku Banjar.
Menurut cerita rakyat yang beredar di kalangan masyarakat Banjar, kain sasirangan pertama dibuat tatkala Patih Lambung Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam di atas rakit balarut banyu.
Menjelang akhir tapanya, rakit Patih tiba di daerah Rantau kota Bagantung. Di tempat itu, dia melihat seonggok buih dan dari dalam buih terdengar suara seorang perempuan. Perempuan itu adalah Putri Junjung Buih, yang kelak menjadi raja di banua ini.
Tetapi Putri Junjung Buih bersedia muncul ke permukaan, kalau semua syarat yang dipintanya dipenuhi. Syarat tersebut adalah sebuah istana Batung yang pembangunannya diselesaikan dalam sehari. Selain itu, kain yang ditenun dan dicalap atau diwarnai oleh 40 orang putri dengan motif wadi/padiwaringin yang juga selesai dalam satu hari.
Padiwaringin, menjadi kain calapan/sasirangan yang pertama kali dibuat.

Sangat Sedikit
Menurut Ramli, seorang perajin sasirangan yang berada di Banjarmasin, kain sasirangan memiliki keunikan dibanding batik khas daerah lain. Keunikan itu terlihat dari proses pewarnaan.
Seperti kali ini, ketika tim Jendela bertandang kerumahnya, Ramli memperlihatkan bagaimana proses pembuatan kain sasirangan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mempersiapkan kain. Kain yang umum digunakan untuk sasirangan antara lain sutra, semisutra, katun, serta satin.
Setelah kain siap, langkah selanjutnya adalah melukis kain berdasarkan pola. Perajin biasanya sudah mempunyai cetakan pola, sehingga tak terlalu sulit untuk melukis. Kecuali, ada orang yang memesan dengan pola khusus.
Biasanya saya harus berkonsultasi dahulu kepada penjahit, bagaimana teknik melukisnya. Supaya ketika dibuat menjadi kemeja, polanya serasi,” terang Ramli.
Setelah kain dilukis sesuai pola yang diinginkan, langkah selanjutnya adalah menjahit (menjelujur) lukisan pola itu dengan benang sesuai pola yang jaraknya 1 - 2 milimeter atau 2 - 3 milimeter. Dalam bahasa Banjar, merajut itu dinamakan sirang. Benang ditarik kencang sampai kain menjadi rapat dan membentuk kerutan-kerutan, kain yang dijelujur itu kemudian akan mengerut menjadi padat.
Setelah tahapan itu selasai, proses pewarnaan siap dilakukan. Untuk pewarnaan, perajin menggunakan pewarna kimia. Pewarna dari bahan alam sangat sedikit macamnya, dan kalaupun ada harganya mahal, lanjut Ramli.
Untuk tahap pewarnaan, kain terlebih dahulu direndam dengan cairan kimia atau deterjen. Ada dua cara perendaman. Cara pertama, kain direndam selama satu malam. Cara kedua, kain direndam hanya selama 20-30 menit.
Saya memilih cara kedua, karena lebih efektif secara waktu. Hasilnya sama saja, asal kita berani memainkan warna.” Aku Ramli.
Kalau memakai cara kedua, ketika pewarnaan maka bubuk pewarna harus lebih banyak. Banyak perajin memilih cara pertama, untuk menghemat warna.
Memberikan warna pada kain pun ada dua cara. Pertama, menggunakan air panas. Kedua, menggunakan air dingin. Untuk pewarna dengan air panas, biasanya warna brown, green olive, yellow kcn, biru rsn, violet. Untuk teknik tersebut, air mendidih dicampur dengan cairan pewarna yang dikehendaki dan ditambah soda api. Semua bahan diaduk rata, kemudian kain dicelupkan kedalamnya.
Pewarnaan menggunakan air dingin, biasanya dicampur garam dan lem yang disebut naptol. Biasanya teknik itu dipakai untuk  penggunaan warna biru tua, merah tua, merah gigi,  dan merah gipy.
Teknik Perintang.
Proses pewarnaan menggunakan teknik perintang, yaitu teknik pewarnaan yang mengakibatkan tempat-tempat tertentu dan dikehendaki akan terhalang atau tidak tertembus oleh penetrasi larutan zat pewarna.
Warna pertama ketika pewarnaan, adalah warna utama untuk motif bunga yang terdapat pada pola sasirangan yang telah dilukis.  Motif bunga tersebut selanjutnya diikat dengan karet (tali rafia). Setelah itu, kain kembali diberi warna sesuai yang diinginkan untuk mendapatkan warna dari motif yang lain.
Pengikatan pada motif itulah yang di sebut dengan teknik perintang. Ketika pewarnaan telah selesai, langkah selanjutnya adalah membuka jahitan  (jelujur) di pola kain. Selanjutnya kain yang telah berwarna warni itu, dicuci dengan pengharum dan kemudian disetrika.
Mencuci kain sasirangan, sebaiknya tidak menggunakan deterjen. “Kalau dicuci menggunakan diterjen, maka warnanya cepat kusam,” jelas Ramli.
Rp 500 Per Meter
Dalam industri (rumah tangga) kain sasirangan, biasanya perajin hanya melakukan pewarnaan dan pelukisan pola di kain.
Untuk penjahitan (jelujur) dan melepas benang jelujur ketika pewarnaan telah selesai, biasanya dilakukan oleh orang lain. Upahnya, untuk untuk menjelujur satu meter kain sebesar Rp 500. Sedangkan melepas benang jelujur, upahnya antara Rp 200 sampai Rp 300 per meter


Tulisan ini pernah di muat di majalah Jandela 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar