Siapa pun
yang pernah berkunjung ke Indonesia, pasti akan sepakat
bahwa khazanah budaya
Indonesia begitu beragam. Dari kuliner hingga warisan budaya dan seni serta tradisi, tetap terjaga turun
temurun. Satu di antaranya
adalah kain tradisional.
Di Pulau Jawa, orang mengenal batik. Di Sumatera ada songket sebagai kain tradisional. Di Kalimantan khususnya Kalimantan
Selatan ada kain sasirangan.
Sasirangan
adalah kain khas adat suku Banjar. Awalnya, kain sasirangan
dipercaya dan digunakan
untuk kesembuhan bagi orang yang tertimpa suatu penyakit (pamintaan/pamintan). Kain tersebut, dipakai saat upacara adat suku Banjar.
Menurut cerita rakyat
yang beredar di kalangan masyarakat Banjar, kain sasirangan pertama dibuat tatkala Patih Lambung Mangkurat bertapa
selama 40 hari 40 malam di atas rakit balarut
banyu.
Menjelang akhir tapanya, rakit Patih tiba di daerah Rantau
kota Bagantung. Di tempat
itu, dia melihat seonggok buih dan dari dalam buih
terdengar
suara seorang perempuan.
Perempuan itu adalah Putri Junjung Buih, yang kelak menjadi raja di banua ini.
Tetapi Putri Junjung Buih bersedia muncul
ke permukaan,
kalau semua syarat
yang dipintanya
dipenuhi. Syarat
tersebut adalah sebuah istana Batung yang pembangunannya diselesaikan dalam
sehari. Selain itu, kain
yang ditenun dan dicalap atau
diwarnai oleh 40 orang putri dengan motif wadi/padiwaringin yang juga selesai dalam
satu hari.
Padiwaringin, menjadi kain calapan/sasirangan yang pertama kali
dibuat.
Sangat Sedikit
Menurut Ramli, seorang
perajin sasirangan yang berada di
Banjarmasin,
kain sasirangan memiliki keunikan
dibanding batik khas daerah lain. Keunikan itu terlihat
dari proses pewarnaan.
Seperti kali ini, ketika tim Jendela
bertandang kerumahnya,
Ramli memperlihatkan bagaimana proses pembuatan kain sasirangan.
Langkah pertama yang harus dilakukan
adalah mempersiapkan kain. Kain yang umum digunakan untuk sasirangan antara lain sutra, semisutra, katun, serta satin.
Setelah kain siap,
langkah selanjutnya adalah melukis kain berdasarkan pola. Perajin biasanya
sudah mempunyai cetakan pola, sehingga tak terlalu sulit untuk
melukis. Kecuali, ada orang yang memesan dengan pola
khusus.
“Biasanya saya harus berkonsultasi dahulu kepada penjahit, bagaimana teknik melukisnya. Supaya ketika dibuat menjadi kemeja,
polanya serasi,” terang
Ramli.
Setelah kain dilukis
sesuai pola yang diinginkan, langkah selanjutnya adalah menjahit (menjelujur)
lukisan
pola itu dengan benang sesuai pola yang jaraknya
1 - 2 milimeter atau
2 - 3 milimeter. Dalam bahasa Banjar, merajut itu dinamakan sirang. Benang ditarik kencang sampai kain menjadi rapat dan membentuk
kerutan-kerutan, kain
yang dijelujur itu kemudian akan mengerut menjadi padat.
Setelah tahapan itu selasai, proses pewarnaan siap dilakukan.
Untuk pewarnaan, perajin menggunakan pewarna kimia. Pewarna dari bahan alam sangat
sedikit macamnya,
dan kalaupun ada harganya mahal, lanjut Ramli.
Untuk tahap pewarnaan,
kain terlebih dahulu direndam dengan cairan kimia atau deterjen. Ada dua cara perendaman. Cara pertama, kain direndam selama satu malam. Cara kedua, kain direndam hanya selama 20-30 menit.
“Saya memilih cara kedua, karena lebih efektif secara
waktu. Hasilnya
sama saja,
asal kita berani memainkan warna.”
Aku Ramli.
Kalau memakai cara kedua, ketika
pewarnaan maka bubuk pewarna harus lebih banyak. Banyak perajin memilih cara pertama, untuk menghemat warna.
Memberikan warna pada kain pun ada dua cara. Pertama, menggunakan air panas. Kedua, menggunakan air dingin. Untuk pewarna
dengan air panas,
biasanya warna brown,
green
olive,
yellow
kcn, biru
rsn, violet.
Untuk teknik tersebut, air
mendidih dicampur dengan cairan pewarna
yang dikehendaki dan ditambah
soda api. Semua bahan
diaduk rata, kemudian kain dicelupkan kedalamnya.
Pewarnaan menggunakan air dingin, biasanya dicampur garam dan lem
yang disebut naptol. Biasanya teknik itu dipakai untuk
penggunaan warna biru
tua, merah
tua,
merah
gigi, dan merah gipy.
Teknik Perintang.
Proses pewarnaan
menggunakan teknik perintang, yaitu teknik pewarnaan yang mengakibatkan
tempat-tempat
tertentu dan dikehendaki
akan terhalang atau tidak tertembus oleh penetrasi larutan zat pewarna.
Warna pertama ketika pewarnaan, adalah warna utama untuk motif bunga yang terdapat pada pola sasirangan
yang telah dilukis. Motif bunga tersebut
selanjutnya diikat dengan karet (tali rafia). Setelah itu, kain kembali diberi warna sesuai
yang diinginkan untuk mendapatkan warna dari motif yang lain.
Pengikatan pada motif itulah yang di sebut dengan teknik perintang. Ketika pewarnaan telah selesai,
langkah selanjutnya adalah membuka jahitan
(jelujur) di pola kain. Selanjutnya kain yang telah berwarna warni itu, dicuci
dengan pengharum dan kemudian disetrika.
Mencuci kain sasirangan,
sebaiknya tidak menggunakan deterjen. “Kalau dicuci menggunakan diterjen, maka warnanya
cepat kusam,”
jelas Ramli.
Rp 500 Per Meter
Dalam industri (rumah tangga) kain sasirangan, biasanya perajin
hanya melakukan pewarnaan dan pelukisan pola di kain.
Untuk penjahitan (jelujur)
dan melepas benang jelujur
ketika pewarnaan telah selesai, biasanya dilakukan oleh orang lain. Upahnya, untuk untuk
menjelujur satu meter kain sebesar Rp 500. Sedangkan melepas benang
jelujur, upahnya
antara Rp 200 sampai Rp 300
per meter
Tulisan ini pernah di muat di majalah Jandela