Jumat, 18 April 2014

KERETA API



Jam di tangan menunjukkan pukul 18.30, namun matahari belum juga akan terbenam. Beberapa saat kemudian aku baru sadar, ini adalah waktu Indonesia tengah alias WITA, padahal aku sedang berada di Jakarta. Kota ini termasuk wilayah waktu Indonesia barat (WIB). Hari ini, tepat pasca semua rangkaian kegiatan selama dua hari berakhir, kuputuskan untuk keluar dari zona nyaman di hotel berbintang kelas ibu kota, meski jatah menginap masih satu malam lagi. Aku ingin pergi ke Depok, mengunjungi seorang teman yang sedang menuntut ilmu di salah satu di PTN terbaik di negeri ini.
Hasil rekomendasi terbaik yang disarankan satpam hotel, aku harus naik kereta. Jenis tranportasi ini yang paling mudah dan laik yang dia ketahui. Selain stasiunnya dekat dengan hotel, transportasi ini juga belum pernah aku coba. Atas pertimbangan itu, kutetapkan hati untuk naik kereta. Selama ini, pengalamanku menggunakan transportasi umum di  Jakarta selalu  berakhir  bersama bus Damri dan ojek saja. Sepuluh menit  jalan kaki dari hotel, stasiun yang di informasikan sang satpam berhasil kutemukan. Stasiun Gondangdia, namanya.
Memori otak ini pun terkenang beberapa tahun silam, saat Bunda bercerita ihwal kereta api. Berdasar kesaksiannya, ketika usiaku tiga tahun, aku sudah mempunyai pengalaman menumpang kereta  api. Tetapi, peristiwa itu sudah lama berlalu dan sekadar nostalgia belaka. Sesampai di stasiun, sebagai orang yang kehilangan pengalaman pernah menaiki kereta api, langkah pertama adalah mencari tempat yang sepi, menyaksikan bagaimana cara setiap calon penumpang mendapatkan tiket kereta, sekaligus istirahat sejenak, sambil memijit otot kakiku yang agak kaku. Selama ini,  suasana Jakarta yang berkelebat di otakku adalah gambaran sebuah kota yang penuh kekerasan, egoistik, tamak, dan penuh tipu muslihat di sana-sini. Sedangkan stasiunnya berkesan sebagai sarang penipu kelas teri dan tempat para penyamun (preman) berkeliaran, seperti sama halnya di sekitar terminal, begitu teror seorang teman.
Sikap ke-hati-hatian dan parno ini, agak berlebihan memang, karena ternyata, begitu mudahnya mendapatkan tiket, dan tak berapa lama sampailahku naik transportasi ini. Suasana kereta yang adem dan agak longgar memberikan pengalaman berbeda menggunakan transportasi di Jakarta. Gambaran penumpang kereta yang penuh, berjubel, berdesak-desakan dan panas yang sering di beritakan di media massa dan  media elektronik  tak juga aku jumpai. Sampai detik ini, bad new is good new makin mendapat pembenaran dalam batinku.
Kesan kenyamanan yang baru saja terasa sepersekian detik langsung sirna, jauh dari gambaran yang terbayangkan, pada pemberhentian kereta di stasiun berikutnya, dan saat pintu kereta terbuka, langsung tumpah-ruahlah para penumpang masuk, berdesakan baik dari arah depan maupun belakangku, dan itu terus terjadi di setiap stasiun. Bagi para penumpang yang sudah terbiasa dengan kondisi saling dorong, berjejalan dan menikmati panasnya suhu di dalam kereta ini, pastilah hal yang lumrah. Setidaknya terlihat dari raut wajah mereka. Namun bagiku, hal  ini suatu yang luar biasa, alias di luar kebiasaan normalku dan detik ini juga aku ikrarkan tak akan lagi naik kereta kecuali dipaksa, bukan karena terpaksa. Dan sampai detik itu, aku berpikir bahwa kereta api bukanlah moda transportasi yang bersahabat. Satu jam berlalu, setelah saling berdesakan, akhirnya sampai juga di Stasiun Depok. Di stasiun ini temanku ternyata telah lama menunggu kedatanganku.
***
Sehari berlalu setelah kunjungan ke tempat teman, pada malam hari menjelang kepulangan, aku katakan kepadanya, bahwa kapok naik kereta api. Kejadian nestapa yang kualami kemarin itu, aku ceritakan padanya. Dia agak terkejut dan heran. Kami pun mendiskusikan transportasi alternatif yang lebih nyaman untuk kepulanganku besok harinya. Keesokan harinya, keputusan akhirnya, berdasar beberapa saran temannya, aku tetap harus naik kereta. Begitu kata temanku. Aku pun terkejut. Memahami perubahan raut mukaku, ia menawarkan untuk mengantarkan sampai ke terminal bus Damri Pasar Minggu. Tentu saja, itu sedikit melegakanku.
Tepat jam 10.43 WIB kami sampai di Stasiun Universitas Indonesia, pasca tak berapa lama menunggu, kereta api kami pun tiba. Kali ini kereta sangat lenggang, tak seperti sebelumnya yang sesak dan saling dorong. Aku jadi  penasaran, kenapa kali ini penumpang tak begitu ramai ? Sampai di Terminal Pasar Minggu, aku baru sadar bahwa ketidaksukaanku untuk naik moda kereta api  hanyalah kesan emosional sesaat saja, berdasar pengalaman yang minim pula. Pengalaman naik kereta api pada saat jam sibuk (berangkat dan pulang kerja karyawan di Jakarta) dan aktivitas pergi-pulang para pelajar, tidak bisa disamakan dengan waktu lain.
Mungkin begitulah. Pengenalan kita terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan, terkadang membuat kita mempunyai kesimpulan menyeluruh terhadapnya. Kita sering  memberikan penilaian--prasangka--buruk kepada seseorang, hanya karena kesan pertama kita saat berjumpa. Padahal, kita belum mengenalnya secara baik. Bisa saja saat kita bertemu, ia memiliki masalah yang membuat pikirannya berkecamuk. Don't judge a book by its cover, ujar sebuah pepatah yang mengajarkan kita agar tidak  hanya sesaat untu bisa memberikan penilaian kepada sesuatu.
Berapa banyak di antara kita, yang akibat memelihara penilaian sesaat, terjerumus ke dalam jurang kehinaan akibat kesalahan mereka sendiri. Seperti yang aku alami ini. Keenggananku untuk menumpang kereta api yang pada akhirnya merepotkan seorang teman justru membuatku menjadi malu kepadanya. Arkian, aku tarik kembali ikrarku, bahwa naik moda kereta api itu bukanlah hal yang terlarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar